Oleh : A. Raissa
Air menggenang
Di jalan duka dan nestapa
Ratap sedih di ambang pintu yang terbuka
Tenggelam dalam aliran sungai yang tak seharusnya
Memadamkan semangat nadi
Merah hitam menjadi warna
Air yang seharusnya menghidupi
Kota yang sombong dengan hingarnya lumpuh
Tak menggonggongi lagi hingga larut malam
Di jalan duka dan nestapa
Ratap sedih di ambang pintu yang terbuka
Tenggelam dalam aliran sungai yang tak seharusnya
Memadamkan semangat nadi
Merah hitam menjadi warna
Air yang seharusnya menghidupi
Kota yang sombong dengan hingarnya lumpuh
Tak menggonggongi lagi hingga larut malam
Kendaraan seperti mayat teronggok
Menangisi sepinya di sudut jalan yang menggelap
Menangisi sepinya di sudut jalan yang menggelap
Padi yang kembung di sawah
Tak bisa berenang menghindari takdir
Para pembajak sawah merenung di pematang sepi
Berhitung perpasang mata yang menanti kabar
Tak bisa berenang menghindari takdir
Para pembajak sawah merenung di pematang sepi
Berhitung perpasang mata yang menanti kabar
Pelautpun gundah
Ombak menari
Tidak seperti sinden yang gemulai
Tapi..
Seperti tarian di diskotik yang menggila
Bayu mengelusi dengan musik disko setan
Diiringi deburnya di senja yang memerah
Nelayan lesu
Mengingati catatan hutang di selipan sarungnya
Ombak menari
Tidak seperti sinden yang gemulai
Tapi..
Seperti tarian di diskotik yang menggila
Bayu mengelusi dengan musik disko setan
Diiringi deburnya di senja yang memerah
Nelayan lesu
Mengingati catatan hutang di selipan sarungnya
Tanah yang teronggok pun tak tahan
Menangih janji tanam yang tak terialisasi
Sementara tubuhnya telah di gunduli, di telanjangi dari jaman ke jaman
Dia berlari mengejar masa untuk menyelimuti
Karena dingin sudahlah membekukan daya pikirnya
Adakalanya panas juga membakar berlama-mama
Ketika langit menitikkan air mata harunya
Dia meluruhkandiri
Menyapu; perkampungan, kota
Menangih janji tanam yang tak terialisasi
Sementara tubuhnya telah di gunduli, di telanjangi dari jaman ke jaman
Dia berlari mengejar masa untuk menyelimuti
Karena dingin sudahlah membekukan daya pikirnya
Adakalanya panas juga membakar berlama-mama
Ketika langit menitikkan air mata harunya
Dia meluruhkandiri
Menyapu; perkampungan, kota
Kembali di sini
Di gedung pencakar langit,
Ketika setiap benih tak lagi diberi ruang hidup
Disingkirkan atas nama kebutuhan
Atau di jepit pada reruntuhan
Di gedung pencakar langit,
Ketika setiap benih tak lagi diberi ruang hidup
Disingkirkan atas nama kebutuhan
Atau di jepit pada reruntuhan
Di sini
Ketika manja merasuki nalar sesat
Tak tahan panas
Kemudian menumpahkan jutaan Freeon mendingini sesaat
Ketika manja merasuki nalar sesat
Tak tahan panas
Kemudian menumpahkan jutaan Freeon mendingini sesaat
Di sini,
Kita kencingi alam dengan Trilyunan liter Karbon
Hanya untuk mengejar ke egoisan kita
Kita kencingi alam dengan Trilyunan liter Karbon
Hanya untuk mengejar ke egoisan kita
Di sini
Alam kita lecuti tak sudah-sudah
Jangan tunjuk DIA, dia dan dia yang salah
Tapi kita, kita dan kita
Alam kita lecuti tak sudah-sudah
Jangan tunjuk DIA, dia dan dia yang salah
Tapi kita, kita dan kita
Jakarta 200114
Tidak ada komentar:
Posting Komentar